BABELTERKINI.COM, PANGKALPINANG – BUKAN Hidayat Arsani namanya kalau tak bikin kejutan. Orang lain baru berfikir akan melakukan sesuatu, Hidayat sudah melakukannya. Orang baru memulai melakukan sesuatu, Hidayat sudah bergerak ke tahap berikutnya. Orang lain baru bicara bagaimana hilirisasi pertanian dan perkebunan, Hidayat Arsani sudah menyiapkan pondasi kokoh industrialisasi sektor perkebunan.
Hidayat Arsani setia pada cita-cita yang dia yakini sehingga dia dengan sabar akan mewujudkannya. Meski pun itu tidak mudah. Tapi justru disinilah rahasia keberhasilannya dalam melakukan sesuatu. Salah satunya adalah terkait memajukan dunia pertanian dalam hal ini perkebunan.
Masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dikejutkan dengan gagasan Hidayat Arsani yang kala itu adalah Wakil Gubernur Bangka Belitung. Dia tidak hanya mengajak, tapi dia juga memulai menanam aren atau kabung.
Selain memulai menanam Aren di lahan pribadinya di Desa Kayu Besi, Kabupaten Bangka, di lokasi tersebut Hidayat menyiapkan pembibitan secara besar-besaran. Dia pun gencar membagikan bibit aren ke masyarakat agar menanamnya.
Aren cocok ditanam di Bangka Belitung, kata Hidayat, waktu itu. Bukan saja bisa menjadi alternatif bagi petani, tapi punya nilai ekonomis yang tinggi dan bisa dikembangkan menjadi industri aren.
Untuk membangun industri aren, memang tidak mudah. Butuh pondasi yang kuat, pondasi itu, kata Hidayat adalah ketersediaan bahan baku. Maka, Hidayat sejak delapan tahun lalu mulai mengembangkan dan melakukan budidaya aren.
Budidaya ini sangat penting agar Bangka Belitung bisa menghasilkan sendiri bibit unggul aren. Maka, lokasi kebun Hidayat di Kayu Besi sejak awal disiapkan menjadi kebun induk aren jenis genjah.
Kini sedikitnya Hidayat sudah menanam 100.000 batang pohon aren. Jumlah ini menurut Hidayat belum lah cukup kalau mau membangun industri aren. Makanya, Hidayat menargetkan Bangka Belitung punya minimal 5 juta batang aren.
“Maka kita harus bisa mandiri, bisa menghasilkan bibit sendiri. Kalau kita harus beli ke luar bibit sebanyak itu, sayang duitnya. Duitnya bisa digunakan untuk masyarakat, bisa untuk kesehatan, pendidikan dan lainnya,” kata Hidayat.
“Kalau saya pribadi untuk mencapai 5 juta batang aren pasti berat, makanya harus jadi program pemerintah, ini untuk ekonomi Bangka Belitung. Aren produk ekspor, banyak turunan yang bisa dihasilkan, bisa menghasilkan setiap hari,” tutur Hidayat.
Hidayat mengatakan, sebelum gagasannya ini disampaikan ke publik dan dia mulai. Hidayat sudah mengunjungi sejumlah negara, sejumlah provinsi, mengundang sejumlah ahli dari sejumlah universitas melakukan penelitian dan mendiskusikannya.
“Gagasan aren ini bukan tiba-tiba. Tapi melalui proses panjang, termasuk potensi pasar yang masih sangat besar dan tidak tergarap. Ini bisa menjadi pondasi ekonomi Bangka Belitung yang kuat kedepan,” kata dia.
Kemudian Hidayat menjelaskan seberapa besar potensi ekonomi yang bisa dihasilkan dari aren. Tak hanya manfaat finansial yang bisa didapat, tapi manfaat keekonomian punya peluang besar jika dikembangkan.
Hidayat mencontohkan, dari kebun miliknya di Kayu Besi yang sekarang sudah panen, satu batang aren bisa menghasilkan nira sekitar 15-20 liter perhari.
Kalau 1 liter nira bernilai Rp5 ribu saja, maka satu batang sehari bisa menghasilkan Rp75 ribu sampai Rp100 ribu per hari. Kalikan sebulan 30 hari maka, satu batang bisa menghasilkan Rp2.250.000 sampai Rp3 juta.
“Itu baru satu batang, kalau dirawat dengan baik, dengan bibit unggul. Nah bagaimana kalau punya sepuluh batang? Maka potensi penghasilan satu petani bisa Rp20 juta sampai Rp30 juta per bulan. Nah kalau seratus batang, atau seribu batang satu warga Bangka Belitung, apa tidak sejahtera?” kata Hidayat dengan nada retoris.
”Kalau Babel punya 5 juta bateng aren maka potensinya Rp11,25o triliun hingga Rp15 triliun sebulan. Ini potensi sebulan, kalau setahun? Kalikan saja,” imbuhnya.
Di tingkat hulu, kebun saja, itu sudah bisa menyerap banyak tenaga kerja. 5 juta pohon aren, setidaknya butuh areal sekitar 30 ribu sampai 35 ribu hektar lahan. Bandingkan dengan luas lahan komoditas perkebunan lainnya.
“Apalagi aren bisa ditanam dengan sistem tumpang sari. Artinya masyarakat kalau punya lahan satu hektar, tanam dipinggir batas lahan empat sisi saja sudah bisa sekitar 40 batang,” kata Hidayat.
Kalau ditingkat Hulu atau petani saja punya potensi duit begitu besar dan menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari perawatan, pemanen dan lainnya, apalagi kalau dikembangkan ke hilirisasi dan industrinya. Ditingkat hilirisasi bisa membuka peluang bagi masyarakat secara mandiri seperti UMKM dan muncul unit-unit ekonomi bagi anak-anak muda.
“Contohnya masyarakat juga bisa membuat gula aren secara langsung, bisa langsung dipasarkan. Untuk kemasan dan pemasaran bisa melibatkan anak anak muda, bisa juga dikembangkan dalam bentuk gula semut dan lainnya. Akan muncul berbagai unit usaha kreatif lainnya,” kata Hidayat.
Sedangkan untuk skala industri, dari produk aren ada banyak yang bisa dikembangkan, mulai dari untuk gula, untuk industri kesehatan seperti etanol dan lainnya. Ijuknya juga bermanfaat. Begitu pula batang yang sudah tidak produktif bisa untuk sagu.
“Kalau pondasinya sudah kita bangun dan kuat, maka industrinya juga pasti akan dibangun. Investor dengan sendirinya akan datang, mereka akan berinvestasi, uang akan masuk ke Babel. Tenaga kerja akan banyak terserap. Para sarjana, anak-anak kita punya peluang kerja yang memadai,” ujarnya.
“Kalau UMKM tumbuh, tenaga kerja terserap, industri tumbuh, maka pajak, retribusi akan masuk ke negara dan daerah. Pemprov, kabupaten kota juga demikian. APBD kita tidak lagi seret,” tambah Hidayat.
Makanya, Hidayat mengimbau semua pihak harus mulai sadar akan potensi yang dimiliki Babel. Jangan terbuai dengan mimpi-mimpi yang tidak pernah berujung. Jangan sampai bicara pertanian, perkebunan, tapi tidak jelas kemana arahnya. Yang ada sering pengadaan bibit, tapi hingga kini tak jelas hasilnya. Tak jelas ujungnya.
“Jangan sampai dunia pertanian dan perkebunan hanya dimanfaatkan segelintir orang, atas nama masyarakat, tapi dibalik itu untuk memperkaya diri dan kelompoknya saja. Sementara masyarakat petani, dari dulu kesejahteraannya tidak meningkat. Malah, ada yang justru makin turun tingkat kesejahteraannya,” tutur Hidayat. (007)