BABELTERKINI.COM, BELITUNG – Penegakan hukum terhadap kasus perambahan kawasan hutan negara di Kabupaten Belitung dinilai lemah dan terkesan dibiarkan. Praktik alih fungsi lahan dari hutan produksi, hutan lindung, hutan pantai, hingga kawasan konservasi terus berlangsung secara sistematis dan masif, mengindikasikan adanya pembiaran terstruktur yang melibatkan berbagai pihak.
Ironisnya, dugaan keterlibatan oknum aparat pemerintah daerah dan perangkat desa dalam penerbitan dokumen ilegal semakin menguat. Hal ini memperkuat indikasi adanya jaringan mafia tanah yang bekerja secara terorganisir dan telah menjalar hingga ke akar pemerintahan Daerah.
Salah satu kasus mencolok terjadi di Kecamatan Sijuk. Di wilayah ini, lahan hutan produksi yang seharusnya dilindungi telah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Kepala Desa Air Seruk diduga aktif terlibat dalam penerbitan surat rekomendasi kepemilikan lahan (Rekom) di atas kawasan hutan negara padahal secara hukum, kepala desa tidak memiliki wewenang untuk menerbitkan dokumen tersebut pada kawasan dengan status hutan negara, apalagi memperjual belikan.
Nasib serupa menimpa kawasan Hutan Produksi (HP) Gunung Tikus, Kecamatan Sijuk dan Badau. Dua perusahaan, yakni PT AMA dan PT Rebinmas Jaya, dituding melakukan pembabatan hutan secara besar-besaran. Ratusan hektare hutan produksi telah berubah menjadi perkebunan sawit, dengan indikasi kuat pelanggaran terhadap peraturan kehutanan yang berlaku.
Yang lebih memprihatinkan, sejumlah tanah yang masih berstatus kawasan hutan kini telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Hal ini memunculkan dugaan adanya manipulasi administrasi dan pelanggaran prosedural oleh pejabat di tingkat kabupaten maupun provinsi, termasuk potensi gratifikasi dan penyalahgunaan kewenangan.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, perambahan kawasan hutan negara merupakan tindak pidana serius. Pasal 17 Ayat (1) huruf b menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau menguasai kawasan hutan secara ilegal dapat dipidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda antara Rp1,5 miliar hingga Rp10 miliar.
Selain itu, Pasal 94 Ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga mengatur ancaman pidana hingga 10 tahun dan/atau denda hingga Rp5 miliar bagi pelaku penguasaan kawasan hutan tanpa izin yang sah.
Namun hingga saat ini, belum ada tindakan hukum yang signifikan terhadap para pelaku, baik individu maupun korporasi. Ketidakhadiran penegakan hukum yang tegas menunjukkan lemahnya komitmen aparat dalam menyelesaikan kejahatan kehutanan yang telah berlangsung secara terbuka.
Fenomena serupa juga terjadi di wilayah selatan Belitung. Di beberapa titik kawasan hutan lindung, terlihat jelas konversi menjadi kebun sawit tanpa adanya tindakan pencegahan dari pihak berwenang.
Lebih mengejutkan lagi, beredar informasi mengenai keterlibatan mantan pejabat penting daerah yang kini diketahui memiliki kebun sawit di kawasan hutan lindung Dusun Dudat, Desa Lasar, serta puluhan hektar berada di Pulau Selat Nasik yang masuk kawasan HP.
Praktisi hukum Belitung, Wandi, SH, mengecam keras pembiaran yang terjadi. Ia menegaskan bahwa tindakan perambahan ini bukan hanya merugikan lingkungan, tapi juga mengancam kelangsungan ekosistem, sumber daya air, dan keanekaragaman hayati Pulau Belitung yang menjadi warisan alam nasional.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini kejahatan lingkungan yang terorganisir. Negara harus hadir dengan tindakan tegas, bukan hanya retorika. Perlu investigasi mendalam dari pemerintah pusat, dan penindakan nyata dari aparat hukum,” tegas wandi kepada babelterkini.com, Sabtu (10/5/25.
Wandi menegaskan, Negara tidak boleh kalah dengan mafia tanah. Jika penegakan hukum terus lemah, maka ini bukan lagi pembiaran, tapi bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan masa depan generasi penerus.
“Kejahatan seperti ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya pelindung dari dalam. Sudah saatnya penegak hukum turun tangan dengan kewenangan penuh bukan hanya muncul saat isu mencuat, lalu lenyap ketika sorotan mereda,” pungkasnya.
Ia menambahkan, Tentunya permasalahan ini mencerminkan lemahnya tata kelola pemerintahan daerah Belitung, yang tidak hanya gagal menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum, tetapi juga diduga turut menjadi bagian dari jejaring pelanggaran.
“Ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk menindak tegas pelaku, termasuk oknum di internal pemerintahan sendiri, memperlihatkan adanya krisis integritas yang serius dalam tubuh birokrasi pemrintahan Daerah,” tutupnya.