Penulis: Romlan
Wartawan Utama dan Assesor di PWI
BABELTERKINI.COM – Pemerintah sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan terbentuknya Kabupaten / Kota Layak Anak, yang disingkat KLA. Semua pihak termasuk pers dan media, diminta untuk mendukung program tersebut.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan juga dengan tegas dikatakan, bahwa anak adalah generasi penerus bangsa yang wajib dijaga dan dilindungi hak-haknya, termasuk oleh pemberitaan media massa yang dapat merugikan anak.
Namun masih ada saja pemberitaan media yang secara lugas membuka identitas anak dibawah umur yang berhadapan hukum, baik sebagai pelaku, saksi, maupun korban dari suatu peristiwa pidana. Padahal sudah ada Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Peraturan-DP/II/2019 Tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, yang selanjutnya disingkat PPRA. Terdapat 12 point yang mengatur pemberitaan tentang anak yang dirumuskan dalam PPRA tersebut.
Lahirnya Pedoman Pemberitaan Ramah Anak setelah Dewan Pers menandatangani MoU dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada Kamis, 12 April 2018. Maksud dan Tujuan dari MoU tersebut adalah sebagai landasan kerja sama perlindungan anak dengan tujuan menyelenggarakan pemberitaan ramah anak.
Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dimaksudkan untuk mendorong komunitas pers menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati dan bertujuan melindungi hak, harkat dan martabat anak, anak yang yang terlibat persoalan hukum ataupun tidak, baik anak sebagai pelaku, saksi atau korban dari suatu peristiwa atau perbuatan pidana.
Perbedaan Batasan Usia Terkait Perlindungan Anak
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (16 tahun);
Kode Etik Jurnalistik (16 tahun);
Undang-Undang Perkawinan (16 tahun);
Undang-Undang Perlindungan Anak (18 tahun);
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (18 tahun);
Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (21 tahun);
Undang-Undang Administrasi Kependudukan (17 tahun);
Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang disepakati menggunakan batasan seseorang yang belum berusia 18 tahun, baik masih hidup maupun sudah meninggal dunia, sudah menikah atau belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Identitas Anak yang harus dilindungi adalah semua data dan informasi yang menyangkut anak, yang memudahkan orang lain untuk mengetahui anak seperti nama, foto, gambar, identitas keluarga serta keterangan pendukung seperti alamat tempat tinggal, sekolah, perkumpulan atau organisasi yang diikuti, dan benda-benda khusus yang mencirikan sang anak.
Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan /atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan:
Ayat (1) Identitas Anak, Anak Korban, dan atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak atau pun elektronik.
Ayat (2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan / atau Anak Saksi.
Ketentuan Pasal 97 menyatakan:
“Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”
Dalam teori ilmu jurnalistik berita harus memenuhi unsur 5W + 1H. Dalam kontek perlindungan anak, maka kelengkapan unsur berita tidak boleh melanggar Kode Etik Jurnalistik, apalagi Undang-Undang, sehingga orang yang membuka identitas anak bermasalah dengan hukum dapat dikenakan sanksi hukum.
Melanggar Pedoman Pemberitaan Ramah Anak berarti melanggar Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Juncto Pasal 97 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Merujuk pada Pasal 78 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun.
Jika hari ini ada berita di media massa yang melanggar, maka perkara itu dapat dituntut hingga 12 tahun yang akan datang. Jadi, waspadalah!
Sengketa Jurnalistik terkait pelanggaran terhadap Pedoman Pemberitaan Ramah Anak diselesaikan oleh Dewan Pers, sesuai mekanisme yang berlaku dalam Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Masyarakat dapat turut berperan aktif dalam membangun pers yang sehat, profesional, dan berkeadilan. Peran serta masyarakat itu diatur pada Pasal 17 Undang-Undang Pers.
Ketentuan Pasal 17 ayat (1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
Pada ayat (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional;
Masyarakat yang dirugikan oleh berita yang melanggar Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dapat menyampaikan keberatan kepada redaksi media yang bersangkutan, mengadukan kepada Dewan Pers, atau melaporkan pemberitaan tersebut kepada pihak berwenang lainnya. (*)